Sebagian wilayah Borneo, tepatnya di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, sudah dipastikan akan menjadi calon ibu kota baru pengganti Jakarta. Saat ini, Jakarta yang berada di Pulau Jawa, sudah lebih dari setengah abad sejak Indonesia merdeka menjadi pusat pemerintahan. Bahkan, saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda, Batavia sudah menjadi pusat pemerintahan kolonial.
Batavia atau Jacattra memang sudah menjadi kota metropolitan sejak lama. Luas kota ini hanya 0,03 persen dari total luas wilayah nusantara. Dengan luas tersebut, Kota Jakarta dihuni sekitar 10 juta jiwa atau hampir sekitar lima persen penduduk Indonesia. Dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan beragam masalah mulai dari banjir, ketimpangan sosial, dan kemacetan lalu lintas, menjadikan Jakarta sebagai kota yang ‘kurang ramah’ bagi penghuninya.
Letak Jakarta yang berada di Pulau Jawa, menjadikan pulau ini menjadi arus utama urbanisasi. Karena pusat pemerintahan berporos di Pulau Jawa, hal ini yang menyebabkan Pulau Jawa menanggung beban berat. Sebagai warga Jakarta yang hampir separuh hidup tinggal di kota ini, saya memang merasakan lelahnya menghadapi permasalahan Kota Jakarta yang menyandang status sebagai ibu kota.
Saat Presiden Jokowi resmi mengumumkan pemindahkan ibu kota dari DKI Jakarta, ke sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara beberapa bulan lalu, saya menyambut senang informasi ini. Memang, wacana pemindahan ibu kota sudah sejak lama direncanakan. Bahkan, saat era pemerintahan Soekarno, wacana memindahkan ibu kota ke Pulau Kalimantan sudah direncanakan.
Kalimantan dianggap memiliki beragam kelebihan untuk menjadi calon ibu kota baru. Salah satunya adalah Borneo menjadi satu-satunya pulau di Indonesia yang dinilai paling aman dari bencana gempa bumi. Selain itu, letaknya yang berada di tengah-tengah kepulauan Indonesia, menjadi sangat strategis sebagai pusat pemerintahan.
Mengintip Cetak Biru Pembangunan dan Transportasi di Ibu Kota Baru
Memang, saya sendiri belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Borneo. Saya hanya mengamati dari jauh dan menganggap bahwa pulau ini memang pas untuk dijadikan sebagai ibu kota baru.
Belum lama ini saya mengikut Dialog Indonesia yang bertajuk “Merajut Konektivitas Ibu Kota”. Acara ini juga dihadiri oleh Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, dan Pemimpin Harian Kompas, Ninuk Mardiana Pambudy. Saya makin menyadari bahwa pemindahan ibu kota ini sangat penting untuk mengatasi beragam permasalahan yang ada di Jakarta.
Kepadatan penduduk, polusi udara yang tinggi, kemacetan lalu lintas, dan semakin menurunnya permukaan tanah di Jakarta, hanyalah beberapa di antaranya. Kemenhub sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk membangun dan mengawal konektivitas ibu kota baru, menggulirkan beragam wacana yang menjadi rencana induk pembanganan ibu kota baru.
Sebagai calon Ibu Kota Negara (IKN) baru, kota tersebut harus memiliki visi sebagai kota pintar (smart city), hijau (green) dengan memanfaatkan teknologi tinggi untuk menghasilkan energi bersih (clean energy), dan memiliki electrical vehicle.
Sesuai rencana, saat ini sedang dipersiapkan proses tender rencana induk (master plan) untuk Ibu Kota Negara. Jika tidak meleset, rencana pemindahan ibu kota baru akan dilakukan awal 2024. Dalam rencana induk, terdapat beberapa klaster yang sedang dibangun konsepnya. Di antaranya klaster untuk Pemerintahan, Pendidikan Research & Development, Kesehatan, Hiburan, dan Keuangan. Khusus untuk klaster pemerintah, akan dibangun dan dikelalo oleh pemerintah sendiri.
IKN baru juga memiliki konsep transportasi perkotaan yang ramah lingkungan. Konsep ini mengharuskan penduduk untuk menggunakan transportasi umum sebagai pilihan utama dalam melakukan aktivitas. Konsep transportasi di IKN baru juga sangat aksesibel dan mudah dijangkau bagi semua kelompok masyarakat.
Konsep transportasi perkotaan ini juga dirancang dengan Inteligent Transport System (ITS) yang memudahkan pihak berwenang untuk melakukan pengawasan. Selain itu, sistem transportasi di IKN baru juga mendorong warganya untuk berjalan kaki atau bersepeda dengan fasilitas yang people friendly.
Beragam cara juga digulirkan untuk memudahkan penghuni ibu kota baru memiliki kesadaran menggunakan transportasi publik. Beberapa di antaranya dengan melakukan pemisahan antara arus pejalan kaki dengan unmotirized vehicle dan kendaraan bermotor.
Transportasi massal seperti mass rapit transit (MRT) juga dikembangkan sebagai simpul transportasi terintegrasi antar moda transportasi dan tata guna lahan (TOD). Koridor radial saat masuk pusat pemerintahan dibangun dengan konsep penggunaan MRT underground. Yang pasti, system transportasi ini akan memadukan kecanggihan teknologi, seperti CCTV, e-payment, scheduling, smart parking, location tracking, control room, dan lain sebagainya.
Menariknya lagi, sudah banyak perusahaan dan investor dari dalam dan luar negeri yang tertarik untuk bekerja membangun Ibu kota Negara (IKN) baru. Ah, saya jadi ingin ikutan pindah ke ibu kota baru, tak sabar rasanya menikmati segala fasilitas yang akan disediakan. Bagaimana pendapat kalian?