Wangi yang Tak Terlihat, Tapi Tak Pernah Hilang

0 Shares
0
0
0

Ada musim yang berhenti di tengah jalan. Di Nusa Tenggara Barat, tanah seperti menahan napas terlalu lama. Retak, kering, dan kehilangan suara hujan. Dulu, di lahan itu tumbuh padi dan harapan; kini yang tersisa hanyalah gurun kecil tempat angin membawa debu dan diam. Petani kehilangan arah, dan tanah kehilangan janji. Mungkin di situlah segalanya bermula, dari sebuah keprihatinan yang sederhana: mengapa bumi tak lagi bisa memberi makan anaknya sendiri.

Maharani datang bukan membawa proyek, tapi rasa iba yang pelan berubah menjadi tekad. Ia tahu, krisis lingkungan bukan sekadar tentang alam yang lelah, tetapi tentang manusia yang lupa caranya bersyukur. Maka ia mulai berjalan di antara lahan kritis itu, bukan untuk mengukur kerugian, melainkan mencari sisa kehidupan yang masih bisa dirawat. Ia menemukan sesuatu yang keras kepala di sana, tanah yang menolak mati, dan petani yang menolak menyerah.

Sahabat dari Tanah Kritis

Dari tanah yang kehilangan janji itu, Maharani mulai menanam kembali keyakinan. Ia percaya bahwa dari yang retak pun, sesuatu masih bisa tumbuh. Ia melihat lahan-lahan kering bukan sebagai beban, melainkan ruang kosong tempat harapan dapat kembali berakar. Di antara tanah berdebu dan akar-akar yang patah, ia menanam bukan sekadar pohon, tapi makna bahwa kehidupan selalu punya cara untuk kembali.

Langkahnya sederhana, mengajak para petani menanam pohon gaharu dan buah-buahan. Bagi banyak orang, ajakan itu terdengar mustahil. Siapa yang mau menanam di tanah yang nyaris mati. Tapi Maharani tahu, yang lebih gersang dari lahan adalah pandangan manusia terhadapnya. Maka ia menanam keyakinan lebih dulu sebelum benih. Ia datang bukan sebagai dosen yang mengajar dari podium, melainkan sebagai sahabat yang duduk di tanah, tangan dan pikirannya sama-sama berdebu.

Forum Petani Cinta Gaharu lahir dari keyakinan itu. Bukan lembaga besar, melainkan ruang kecil tempat para petani belajar bersama bahwa hutan bukanlah musuh yang harus ditebang, melainkan kawan yang bisa menghidupi. Maharani perlahan mengubah cara orang melihat hutan. Dari sesuatu yang dulu dianggap liar dan tak berguna, menjadi ladang ekonomi baru yang berbau harum kayu gaharu. Ia menanam bukan sekadar batang, tetapi cara pandang baru tentang hidup yang berkelanjutan.

Gaharu sendiri adalah paradoks alam, kayu yang bernilai justru karena luka. Pohon ini menghasilkan gubal hitam berharga tinggi ketika terserang jamur tertentu, sebuah bentuk penderitaan yang menjelma kemewahan. Barangkali di situlah Maharani menemukan cermin dari perjuangan manusia. Dari luka lahir daya hidup. Dari keterbatasan tumbuh keberanian untuk memperbaiki. Ia mengajarkan bahwa kadang yang paling berharga dalam hidup bukanlah yang tumbuh tanpa cela, tetapi yang bertahan di tengah kesakitan.

Kini harga gaharu bisa menembus ratusan juta bahkan miliaran rupiah per kilogram. Namun Maharani tampaknya tak berhenti pada angka. Bagi dirinya, nilai gaharu bukan hanya ekonomi, tetapi juga ekologi dan filosofi. Ia percaya ketika masyarakat bisa hidup dari alam tanpa merusaknya, maka kesejahteraan dan kelestarian menjadi dua sisi dari satu daun. Mungkin itu sebabnya penghargaan yang ia terima, SATU Indonesia Awards 2014, bukan akhir perjalanan, melainkan tanda kecil bahwa perjuangannya mulai berakar.

Dalam setiap wangi gaharu yang terbakar, ada kisah tentang tanah kritis yang kembali bernapas. Tentang seorang perempuan yang melihat potensi di tempat orang lain melihat kegagalan. Maharani bukan sekadar penanam pohon, melainkan penanam harapan. Ia mengajarkan bahwa hijau bukan hanya warna daun, tapi sikap hati, percaya bahwa bahkan dari yang retak pun, kehidupan bisa tumbuh lagi.

Akar yang Belajar Bertahan

Menyoroti keputusan Maharani mengajak petani menanam gaharu, pohon yang lambat tumbuh namun penuh harap. Seperti akar, usaha ini menembus kerasnya tanah dan waktu. Ia tahu, menanam gaharu bukan pilihan mudah. Butuh kesabaran, butuh keyakinan, dan butuh hati yang tahan terhadap kecewa. Namun justru di situlah maknanya, bahwa keberlanjutan tidak lahir dari sesuatu yang cepat, melainkan dari yang berakar kuat.

Maharani memulai langkahnya dari kebingungan yang sederhana. Bagaimana cara membuat tanah gersang kembali bernyawa, tanpa harus menunggu hujan yang entah kapan datang. Ia mengamati sekitar, berbincang dengan petani, dan menemukan bahwa di antara banyak tanaman, gaharu memiliki daya hidup yang istimewa. Ia tumbuh pelan, tetapi kokoh. Ia tidak menuntut banyak, hanya tanah yang mau menampung akar dan manusia yang mau merawatnya dengan sabar.

Para petani awalnya ragu. Mereka terbiasa menanam yang cepat panen, yang hasilnya bisa langsung dibawa ke pasar. Gaharu terlalu asing, terlalu lama, terlalu tidak pasti. Namun Maharani meyakinkan mereka bahwa yang lambat bukan berarti sia-sia. Ia mengajak mereka melihat ke dalam, bahwa tanah yang rusak pun bisa sembuh kalau diberi waktu. Begitu pula manusia. Perlahan, keyakinan itu menular, mengalir dari satu tangan ke tangan lain, seperti air yang mencari celah di sela bebatuan.

Setiap kali Maharani menancapkan bibit gaharu, ia seperti sedang menanam doa. Ada harapan di dalamnya agar tanah kembali subur, agar petani kembali percaya bahwa mereka punya kuasa atas nasibnya sendiri. Ia tak menjanjikan hasil cepat, hanya mengajarkan cara bertahan. Dalam sunyi ladang, suara cangkul dan napas yang berat menjadi irama baru; lagu tentang ketekunan yang tak butuh tepuk tangan.

Musim berganti, dan gaharu mulai tumbuh. Tidak tinggi, tidak cepat, tapi cukup untuk menunjukkan tanda kehidupan. Akar-akar kecilnya menjalar di bawah permukaan, menembus tanah kering yang dulu dianggap mati. Seperti Maharani dan para petani yang perlahan menumbuhkan keyakinan baru. Mereka belajar bahwa keteguhan tidak selalu tampak dari yang besar, melainkan dari yang memilih diam namun tak menyerah.

Kini, di antara batang-batang muda gaharu yang berdiri di bawah matahari NTB, ada kisah tentang manusia yang belajar kembali pada alam. Tentang akar yang mengajarkan arti bertahan, tentang tanah yang memberi ruang bagi harapan. Maharani tidak hanya menanam pohon, ia menanam kesadaran, bahwa hidup, seperti gaharu, akan menemukan wanginya sendiri, meski harus menunggu bertahun-tahun lamanya.

Menanam yang Tak Sekadar Pohon

Apa yang tumbuh di ladang-ladang itu bukan sekadar batang gaharu yang pelan meninggi. Di sana juga tumbuh keyakinan bahwa tangan petani masih bisa mencipta kehidupan. Maharani menyadari sejak awal, menanam tidak hanya tentang menumbuhkan daun dan akar, tetapi juga tentang menyemai keberanian di hati manusia. Setiap lubang tanam menjadi simbol kepercayaan diri yang mulai pulih, bahwa mereka yang dulu merasa kalah oleh kekeringan kini kembali punya alasan untuk bangga pada tanahnya sendiri.

Dalam setiap pertemuan dengan para petani, Maharani tidak hanya berbicara soal teknik menanam, tapi juga tentang makna kebersamaan. Ia mengajarkan bahwa keberlanjutan tidak akan tumbuh di lahan yang egois. Petani perlu saling menjaga, saling berbagi air, pengetahuan, bahkan semangat ketika hasil belum tampak. Dari sana lahir solidaritas yang sederhana namun kokoh, seperti akar gaharu yang saling berpegangan di bawah tanah agar tidak tercerabut angin.

Menanam bersama juga berarti berbagi mimpi yang sama. Maharani tidak menempatkan dirinya di atas, melainkan di tengah, berjalan di antara barisan petani yang peluhnya sama, tangannya sama kotor oleh tanah. Ia tahu, keberhasilan sejati tidak akan tumbuh dari satu tangan, melainkan dari banyak tangan yang bergerak bersama. Dalam sunyi ladang, mereka saling menguatkan tanpa perlu banyak kata.

Gaharu menjadi saksi bagaimana komunitas kecil ini belajar tentang nilai-nilai hidup yang jarang diajarkan di sekolah. Mereka belajar arti kesabaran, gotong royong, dan tanggung jawab ekologis. Pohon-pohon muda yang berbaris itu seolah menjadi cermin, memantulkan wajah petani yang kini lebih percaya diri, lebih berdamai dengan alam. Mereka mulai melihat bahwa menanam bisa menjadi bentuk ibadah, bentuk cinta yang paling tulus kepada bumi yang telah lama mereka tinggali.

Namun jalan itu tidak selalu mudah. Ada musim di mana bibit mati, ada hari-hari ketika hujan tak kunjung turun. Di saat seperti itu, Maharani menjadi pengingat bahwa yang tumbuh bukan hanya pohon, melainkan juga keteguhan hati. Ia menolak menyerah pada kegagalan kecil. Ia tahu, menanam berarti mempercayai waktu, dan waktu tidak pernah berkhianat pada yang tekun.

Ketika akhirnya ladang itu mulai menghijau, Maharani tidak melihatnya sebagai akhir dari perjuangan, melainkan awal dari kehidupan baru. Setiap pohon yang berdiri tegak adalah bukti bahwa manusia dan alam bisa tumbuh bersama tanpa saling melukai. Menanam bagi Maharani bukan sekadar soal hasil panen, tapi tentang menumbuhkan sesuatu yang lebih dalam dari akar, lebih luas dari daun, dan lebih harum dari gaharu yang kelak akan menua dalam diam.

Harum yang Tak Dicium Pasar

Foto by Pexels

Gaharu dikenal karena keharumannya yang langka, tetapi bagi banyak petani di Nusa Tenggara Barat, aroma itu masih seperti rahasia yang belum terbuka. Mereka menanam tanpa benar-benar tahu seberapa tinggi nilai yang mereka genggam. Maharani sering tersenyum ketika melihat paradoks itu. Pohon yang dianggap biasa, ternyata menyimpan kekayaan yang luar biasa. Namun, seperti halnya wangi yang hanya tercium jika dibakar, potensi gaharu baru tampak jika ada yang mau mengusahakannya dengan sabar.

Di pasar besar dunia, gaharu menjadi incaran. Ia digunakan untuk parfum kelas atas, dupa keagamaan, hingga obat tradisional bernilai tinggi. Tapi di ladang-ladang kecil tempat Maharani bekerja, wangi gaharu belum sampai ke hidung petani. Mereka belum merasakan hasil dari kerja panjang menunggu pohon matang bertahun-tahun. Bagi sebagian orang, hal itu cukup untuk membuat putus asa. Tapi bagi Maharani, inilah ujian sejati dari kata “berkelanjutan”. Sebab tidak semua hasil bisa langsung dipetik, dan tidak semua nilai bisa diukur dengan uang.

Ia percaya bahwa harum sejati tidak selalu harus dijual. Kadang, wangi itu ada dalam prosesnya, dalam cara manusia memperlakukan tanah dan sesamanya. Maharani sering berkata bahwa jika petani bisa menanam dengan hati, maka rezeki akan datang dalam bentuk yang lebih lembut dari sekadar angka di timbangan. Ia melihat wangi gaharu sebagai simbol kebaikan yang mungkin tak terlihat, tapi tetap menyebar. Seperti keharuman doa yang tak perlu dipamerkan untuk tetap sampai pada yang dituju.

Namun, bukan berarti Maharani menutup mata terhadap nilai ekonominya. Ia justru berusaha menjembatani para petani dengan dunia pasar, mengajarkan cara mengolah gaharu agar bernilai tambah, memperkenalkan mereka pada pembeli dan pelatihan. Bagi Maharani, akses pengetahuan adalah pupuk terbaik bagi perubahan. Ia tidak ingin para petani selamanya menjadi penonton di ladang mereka sendiri. Ia ingin mereka menjadi pemain utama yang tahu betul wangi hasil kerja mereka sendiri.

Masalahnya, wangi gaharu bukan hanya lahir dari pohon, tapi juga dari luka yang diolah menjadi kekuatan. Tidak semua pohon akan menghasilkan gubal, dan tidak semua usaha langsung membuahkan hasil. Di sinilah Maharani melihat pelajaran paling dalam. Bahwa nilai tertinggi dari gaharu bukan terletak pada harga pasarnya, melainkan pada makna yang dikandungnya: dari luka tumbuh keteguhan, dari kesabaran lahir kemewahan. Ia mengajarkan bahwa keindahan sejati sering tersembunyi di balik penderitaan yang diterima dengan ikhlas.

Kini, ketika sebagian hasil tanam mulai dipanen dan diuji, wangi gaharu dari Nusa Tenggara Barat mulai perlahan dikenal. Tapi bagi Maharani, pengakuan itu bukan tujuan akhir. Ia lebih senang ketika melihat wajah para petani tersenyum bangga atas kerja mereka sendiri. Wangi itu kini bukan hanya dari kayu, tapi dari rasa percaya diri yang tumbuh kembali. Sebuah wangi yang mungkin tak dicium pasar, tapi tercium oleh hati siapa pun yang tahu arti ketulusan.

Dari Ladang ke Penghargaan Jejak Satu Indonesia

Ketika nama Maharani diumumkan sebagai penerima SATU Indonesia Awards 2014, sebagian orang mungkin baru mengenalnya. Tapi bagi tanah-tanah di Nusa Tenggara Barat yang mulai hijau kembali, namanya sudah lama bergaung. Penghargaan itu bukanlah puncak, melainkan jeda kecil di tengah perjalanan panjang. Sebab apa yang ia lakukan tidak lahir dari ambisi, tapi dari kepedulian yang tumbuh pelan, seperti tunas yang belajar berdiri di antara bebatuan.

Maharani tidak pernah menganggap dirinya pahlawan. Ia hanya merasa sedang melakukan apa yang seharusnya dilakukan manusia terhadap bumi. Dalam setiap langkahnya, ada kesadaran bahwa keberlanjutan bukan proyek, tapi cara hidup. Penghargaan itu ia terima bukan untuk dirinya semata, melainkan untuk para petani yang ikut percaya, untuk setiap tangan yang menanam dan setiap hati yang menunggu hasil tanpa kehilangan harapan. Ia tahu, perubahan tidak pernah dikerjakan sendirian.

Yang paling istimewa dari perjalanan ini bukanlah kilau pengakuan, tetapi keheningan kerja yang mendahuluinya. Maharani telah menanam sesuatu yang lebih dalam dari pohon gaharu, yaitu makna tentang kebersahajaan. Bahwa kerja kecil, jika dilakukan dengan hati, bisa mengguncang cara dunia memandang kemajuan. Ia menunjukkan bahwa wangi perubahan sering kali lahir dari tempat yang sunyi, dari ladang-ladang yang tak pernah masuk berita.

Kini, setelah bertahun-tahun berjalan, jejaknya tetap ada di setiap akar gaharu yang tumbuh. Ia mungkin tak lagi harus hadir di setiap ladang, tapi semangatnya telah menjadi bagian dari tanah itu sendiri. Di antara daun yang bergoyang dan udara yang membawa wangi kayu, ada pesan yang tak pernah hilang bahwa setiap usaha baik, sekecil apa pun, memiliki gaungnya sendiri di alam. Maharani telah menjadi bagian dari siklus kehidupan yang ia rawat dengan sabar.

Dan mungkin, di situlah letak keindahan sejati dari perjuangannya. Bahwa tidak semua wangi harus tercium, tidak semua karya harus dikenal. Beberapa cukup dirasakan, seperti embun yang menenangkan pagi. Dari ladang yang dulu kering hingga pengakuan nasional, perjalanan Maharani mengajarkan satu hal sederhana yang sulit dilupakan bahwa kerja yang lahir dari cinta tak pernah selesai, ia hanya berubah bentuk menjadi inspirasi yang menumbuhkan kehidupan baru.

 

 

0 Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like