Tentang Kopi, Desa Kecil di Lereng Puncak, dan Mimpi yang Tak Disangkal Waktu

0 Shares
0
0
0

Di suatu pagi yang sunyi di Desa Sejahtera Astra Tugu Utara, kabut menyusup perlahan di antara baris-baris pohon kopi. Aroma ceri kopi begitu nyata, seolah melukis ulang cerita tanah, embun, dan tangan-tangan lembut yang menyiram harapan. Di sinilah, setiap bulir biji arabika tumbuh dalam kesabaran dan cinta, tanpa perlu ia berseru untuk dikenali.

Desa kecil itu, nyaris tak pernah masuk peta ekonomi internasional. Namun di balik sunyi jalan setapak, tebersit keyakinan bahwa desa bisa mengukir jejak di peta global. Desa Sejahtera Astra menjadi saksi bahwa mimpi, sekali ditanam, dapat tumbuh melintasi batas laut dan budaya.

Kontrak ekspor kopi satu ton ke Aljazair, ditandatangani pada 18 Juni 2025, bukan hanya angka. Ia adalah gemuruh kecil yang mencerminkan keberanian desa dan kolaborasi lintas sektor. Astra, pemerintah, asosiasi eksportir, akademisi, petani, semuanya bersatu dalam satu nyanyian bahwa mimpi desa layak diekspor.

Dan memang, sejak 2022 Astra telah mendampingi petani lewat pelatihan pengolahan, greenhouse, hingga mesin pulper. Mereka membekali petani bukan hanya dengan alat, tetapi dengan rasa percaya bahwa biji dari tanah Puncak bisa bicara pada dunia.

Biji yang Tak Pernah Lupa Asalnya

Setiap biji arabika yang menunggu panen itu adalah arsip kecil. Ia menyimpan cerita tentang hujan Puncak, tanah silik, dan tangan petani yang merawatnya sejak ceri mekar. Ia membawa memori kesuburan lereng dan kearifan lokal.

Petani tahu betul bahwa secangkir kopi bukan hanya hasil. Ia adalah cerita tentang warisan tanah dan kelimpahan alam. Mereka memetik dengan tangan, memastikan setiap biji yang jatuh adalah representasi terbaik dari desa.

Astra, lewat pendampingan sejak 2022, membantu mereka menjaga jejak itu. Greenhouse dan mesin pulper menjadi saksi bahwa teknologi bisa memperkuat identitas desa tanpa menenggelamkannya.

Ketika biji itu diseduh di Aljazair, ia membawa aroma lereng Puncak, bukan hanya rasa. Pada akhirnya, biji itu tak pernah lupa dari mana ia lahir, dan itulah sebabnya dunia mendengarnya.

Dan di balik aroma yang harum itu, ada sesal dan syukur. Di tengah gelombang globalisasi, desa masih mampu menjaga akar, menyimpan memori, dan membaginya dalam setiap tegukan.

Ketika Desa Bicara kepada Dunia

Foto: ASTRA

Daftar hadir seremoni penandatanganan antara lain mencakup Sekjen Kementerian Kehutanan, Rektor IPB, perwakilan Perhutani, dan Head E&S Astra. Tak banyak yang menyangka bahwa desa di lereng itu bisa bercakap langsung dengan dunia.

Perjalanan satu ton kopi yang akan dikirim bukan sekadar barang. Ia menapaki jalan panjang, dari panen raya di lereng, melalui pemrosesan, hingga ke kantor eksportir di Aljazair.

Desa berbicara dengan bahasa kualitas dan kepercayaan. Ketika kontrak ditandatangani, Bukan hanya tinta hitam di kertas, tapi pernyataan bahwa desa layak didengar, dihargai, dan dikenang.

Tiada sorak-sorai gemerlap meski peristiwa ini bersejarah. Ini adalah ekspor yang lembut, menyelinap menjadi puisi tanpa perlu teriak-teriak.

Dan dunia mendengar. Lidah Aljazair mungkin akan mengerti, mungkin tidak. Tapi aroma dan rasa itu bicara sendiri. Desa kecil berbicara lewat wangi dan rasa yang menembus kata.

Hutan yang Belajar Bicara Lewat Wangi Kopi

Pelan namun pasti, kopi arabika ditanam dalam kawasan perhutanan sosial. Di sini, hutan bukan hanya milik pepohonan, tetapi juga milik warga.

Agroforestri mengajarkan bahwa bumi bisa dijaga kala memberi. Di lereng Puncak, ekonomi tidak selalu melawan ekologi. Kadang, keduanya bersahabat. Pohon kopi tumbuh di bawah lindungan hutan, bukan menggantikan atau menyingkirkan.

Hutan belajar bicara lewat wangi kopi. Pelan tapi pasti, ia mengatakan, “Lindungi aku, maka aku lindungi perjuanganmu.”

Desa mengajarkan hutan bahwa kemitraan bukan bentuk dominasi, melainkan bentuk saling menguatkan. Astra hadir bukan untuk merobohkan, melainkan membangun. Dari greenhouse, pulper, riset, hingga akses pasar.

Udara Puncak kini tidak lagi sekadar tempias kabut. Ia menjadi saksi bisu bahwa ketika konservasi bertemu ekonomi, keindahan bisa tumbuh dalam keseimbangan.

Perjalanan Tak Selalu Berbunyi

Ekspor ini berjalan tanpa pesta, tanpa bunyi sirine. Namun ia melekat di sanubari. Panen raya dan tanda tangan kontrak berlangsung khidmat, nyaris seperti ritual panjang yang tak memerlukan sorak.

Petani yang selama ini diam merawat tanah, hari itu berbicara lewat mata yang berbinar. Mimpi mereka tidak dicatat dalam sejarah besar, tetapi disaring lewat keberanian untuk menembus batas.

Mereka membawa mimpi yang tak berisik, namun cukup kuat untuk melampaui negeri lain. Sebuah keheningan produktif yang membuktikan bahwa tenaga kecil pun bisa bergaung besar.

Saat kapal membawa kopi itu menyeberangi laut, desa tetap diam. Sekali lagi, biji bicara, dan dunia mendengarkan.

Karena mimpi tak selalu butuh penampilan mentereng. Cukup aroma yang menguak jarak, dan rasa yang menyusup lintas budaya.

Apa yang Ditanam, dan Apa yang Tumbuh

Ada biji, ada potensi. Namun yang tumbuh lebih dari itu. Yang tumbuh adalah kesadaran, pengetahuan, dan keyakinan. Astra tidak hanya menyalurkan kopi. Mereka telah menanam kegigihan desa.

Sejak 2022, pelatihan pengolahan, greenhouse, mesin, riset, dan akses pasar ke Taiwan serta Aljazair telah membentuk kapasitas desa. Mereka kini bisa menanam, memetik, memasarkan, dan merayakan hasil bersama.

Learning Center Agroforestry Coffee dibangun bukan sebagai monumen. Ia adalah simbol bahwa desa ingin tumbuh menjadi pusat edukasi dan konservasi, bukan sekadar objek wisata.

Yang ditanam adalah mimpi kolektif. Bahwa Puncak bisa lestari, kopi bisa bernilai, dan desa bisa diperhitungkan. Yang tumbuh adalah jejaring antara petani, akademisi, pemerintah, dan pasar global.

Maka kopi itu bukan sekadar hasil panen. Ia adalah buah dari harapan, pengetahuan, dan keyakinan yang dirawat diam-diam, di lereng Puncak yang lembut.

Yang Bertahan di Antara Waktu dan Wangi

Secangkir kopi dari desa kecil itu berbicara panjang. Ia berkata bahwa dari tanah yang merunduk, bisa muncul jejak global. Bahwa mimpi desa, jika dipupuk sabar, bisa menembus batas. Bahwa modernitas pun bisa bersahabat dengan akar. Bahwa perjalanan hebat sering kali sunyi. Dan bahwa yang tumbuh bukan hanya tanaman, tetapi juga hati dan keyakinan kolektif.

Bukan kopi yang menembus dunia, tapi manusia-manusia kecil dari lereng yang tak menyerah pada sunyi. Dari biji yang disangrai oleh matahari, dari mimpi yang dikeringkan angin pegunungan, dari harapan yang diseduh dengan sabar. Di dunia yang cepat melupakan, Tugu Utara diam-diam menulis dirinya dalam ingatan yang lebih lama: secangkir kopi yang tak pernah pergi dari asalnya.

Dan sesungguhnya, kita semua bisa menengok catatan pinggir kita sendiri. Tentang mimpi yang tak disangkal waktu. Tertanam di sudut sunyi yang menolak untuk dilupakan.

 

0 Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like