Daging Itu Sampai ke Piring Mereka

0 Shares
0
0
0

Ada masa ketika saya berpikir, daging hanyalah lauk biasa. Mudah dibeli, gampang dimasak, dan selalu tersedia saat acara keluarga. Tapi, satu perjalanan ke sebuah pelosok desa mengubah pandangan saya. Di sana, seorang ibu menyuapi anaknya nasi dengan garam, sambil tersenyum tulus saat menerima satu bungkus daging kurban. Matanya berkaca-kaca, seolah baru saja menerima rezeki paling berharga dalam hidupnya.

Saya jadi ingat, kita yang tinggal di kota besar mungkin menganggap kurban sebagai rutinitas ibadah. Beli hewan, titip potong, selesai. Tapi di balik itu, ada kisah yang jauh lebih dalam. Ada orang-orang yang mungkin hanya sekali dalam setahun bisa merasakan nikmatnya daging. Dan momen itu datang dari kebaikan hati orang lain yang bahkan tak mereka kenal.

Kisah ini bukan tentang siapa yang memberi paling banyak, tapi tentang bagaimana satu potong daging bisa membawa harapan. Bisa jadi, sepiring gulai kurban yang kita anggap biasa, adalah pesta kecil bagi mereka yang terbiasa hidup dalam kekurangan.

Masih Banyak yang Hanya Bisa Menghirup Aromanya

Di beberapa sudut negeri ini, makan daging bukan hal yang lumrah. Bahkan saat Iduladha, tidak semua keluarga bisa menikmati satu suapan pun. Mereka hanya mencium aroma dari dapur tetangga, sambil menelan ludah dan berkata, “Mungkin nanti juga dapat.” Dan kadang, “nanti” itu tak pernah datang.

Saya pernah melihat sendiri anak-anak kecil mengintip ke jendela musala, berharap panitia kurban akan menyebut nama keluarganya. Tapi sampai akhir hari, mereka hanya pulang dengan tangan kosong dan langkah pelan. Bukan karena panitianya lalai, tapi karena memang dagingnya tak cukup untuk semua.

Kita sering lupa bahwa sesuatu yang sangat biasa bagi kita bisa jadi sesuatu yang luar biasa bagi orang lain. Aroma daging yang mengepul di rumah kita mungkin hanya jadi kabar gembira yang tak pernah benar-benar sampai ke piring mereka.

Kurban Bukan Sekadar Tradisi Tahunan

Mengunjungi DD Farm di Bantul, Jogja

Banyak orang menganggap kurban hanya sebagai kewajiban tahunan—sekadar daftar ibadah yang harus dicentang. Tapi sebenarnya, esensi kurban jauh lebih dalam. Ia adalah latihan untuk melepaskan, untuk berbagi, dan untuk merasakan kehadiran orang lain dalam hidup kita.

Kurban bukan tentang harga sapi atau berat kambing. Ia adalah simbol dari pengorbanan—mewarisi semangat Nabi Ibrahim yang rela menyerahkan yang paling dicintai demi cinta kepada Tuhan. Tapi hari ini, kurban juga menjadi jembatan kasih antara yang mampu dengan yang membutuhkan.

Saat kita berkurban, kita sedang berkata: “Aku tidak hanya hidup untuk diriku sendiri.” Dan itu adalah pesan paling kuat dari sebuah ibadah. Kurban adalah tentang keikhlasan yang tak butuh pengakuan.

Jejak Perjalanan Daging dari Pekurban ke Penerima

Daging kurban tidak serta-merta tiba di tangan penerima. Ada banyak tangan yang bekerja di belakangnya—relawan yang berjalan kaki ke dusun-dusun, kendaraan yang menembus medan sulit, dan panitia yang bekerja tanpa kenal lelah. Semua dilakukan agar daging itu benar-benar sampai ke mereka yang paling layak menerima.

Saya pernah ikut mendistribusikan daging ke wilayah pelosok. Jalan tanah, hujan deras, dan medan yang kurang kondusif menjadi bagian dari perjuangan. Tapi begitu sampai, lelah itu langsung hilang saat melihat wajah-wajah yang bersinar bahagia menerima bingkisan kecil tersebut.

Terkadang, kita tidak menyadari betapa panjang dan melelahkan perjalanan daging kurban itu. Namun, setiap tetes peluh dan tenaga yang dikeluarkan, menjadi bagian dari amal yang terus mengalir dari si pekurban.

Kebahagiaan yang Tak Terlihat di Layar Televisi

Di kota, Iduladha identik dengan gemerlap: hewan kurban jumbo, dokumentasi mewah, hingga unggahan media sosial. Tapi jauh dari semua itu, ada kebahagiaan yang tidak terekam kamera—hanya dirasakan oleh hati yang peka.

Saya pernah duduk bersama keluarga yang mendapat daging kurban setelah bertahun-tahun. Mereka memasaknya dengan penuh semangat, lalu menyajikannya di atas daun pisang, sambil berdoa bersama sebelum menyantapnya. Tak ada meja makan besar, tak ada piring porselen—tapi ada syukur yang membuncah.

Kebahagiaan mereka tak butuh validasi digital. Mereka tidak tahu siapa pekurban yang memberi, tapi mereka tahu bahwa ada yang peduli. Dan bagi mereka, itu lebih dari cukup untuk membuat hari itu terasa istimewa.

Karena Sedekah Tak Harus Menunggu Kaya

Banyak orang ragu untuk berkurban karena merasa belum cukup mampu. Padahal, niat dan semangat berbagi bisa lebih besar dari isi dompet. Sekarang, banyak lembaga menyediakan cara mudah untuk berkurban—mulai dari iuran kolektif, cicilan, hingga kurban patungan.

Kita sering lupa bahwa sedekah tidak diukur dari jumlah, tapi dari ketulusan. Bahkan Rasulullah pernah bersabda bahwa senyum pun bisa menjadi sedekah. Maka, kurban pun seharusnya tidak menjadi beban, melainkan kesempatan untuk ikut serta dalam kebaikan bersama.

Jadi, siapa pun bisa berkurban. Bukan karena dia kaya, tapi karena dia peduli. Bukan karena kelebihan harta, tapi karena berlimpah empati.

Kurban di Dompet Dhuafa

Jika kamu ingin memastikan bahwa daging kurbanmu benar-benar sampai ke piring mereka yang membutuhkan, kamu bisa mempercayakannya pada Dompet Dhuafa. Lembaga ini telah berpengalaman menyalurkan kurban ke pelosok negeri—bahkan ke wilayah rawan bencana, pedalaman, dan kawasan miskin di luar negeri.

Dengan Dompet Dhuafa, kurbanmu tidak hanya menjadi ibadah personal, tapi juga menjadi gerakan sosial yang berdampak luas. Kamu tak hanya menyembelih hewan, tapi juga menyambung harapan banyak keluarga yang jarang tersentuh bantuan.

Kurban di Dompet Dhuafa bukan hanya soal berapa berat daging yang kamu beri, tapi tentang seberapa besar cinta yang kamu titipkan bersama setiap potongannya. Mari berbagi dan jadi bagian dari kebahagiaan mereka.

 

0 Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like