“Duh, sudah lama nggak pulang kampung, kangen suasana sajian piring terbang saat kondangan.” biasanya kalimat itu yang sering muncul kalau saya lagi ngobrol sama teman-teman SMP di WAG. Banyak banget kenangan sewaktu tinggal di Ngawi.
Dulu, sewaktu tinggal di Ngawi saya sering ikut kegiatan-kegiatan di yang diadakan oleh pemuda di lingkungan RT. Salah satu yang paling saya ingat adalah Sinoman. Apa itu? Ya, salah satu fungsi sinoman memang mengedarkan sajian piring terbang untuk tamu undangan.
Jadi gini, sesuai tradisi di kampung, khususnya daerah Solo-Madiun dan karesidenan di sekitarnya, setiap ada acara hajatan pernikahan, selalu dibentuk panitia yang diakomodir oleh keluarga dan warga setempat. Enggak ada tuh yang namanya wedding organizer seperti di Jakarta.
Baca juga: Perbedaan Budaya Solo dan Jogja
Kalau di kampung ada hajatan, pemuda-pemuda dan warga di lingkungan RT yang selalu sibuk. Semua turut mangayu bagya (turut berbahagia). Mulai dari pra-hajatan hingga pasca hajatan. Setidaknya ada tiga tahapan: yang pertama adalah pra hajatan sekitar satu atau dua minggu sebelum acara, si pemangku hajat akan mengundang seluruh warga.
Undangan ini dimaksudkan untuk berembug dan bermusyawarah menentukan panitia. Rembugan pra hajatan ini namanya Kumbokarnan. Panitia akan dibagi-bagi sesuai jobdesc yang dibutuhkan. Ada yang rewang (masak-masak) dekorasi (bikin janur dan kembar mayang), dan ada yang menjadi sinoman yang tugasnya memberikan sajian piring terbang kepada para tamu. Biasanya dilakukan oleh para pemuda (ini yang sering saya jabat :D).
Sinoman ini akan bertugas pas hari H saat upacara resepsi berlangsung. Kenapa memakai sinoman? Karena sesuai tradisi, resepsi pernikahan di kampung menggunakan sistem sajian piring terbang.
Sajian Piring Terbang yang Menjadi Tradisi
Apa itu, UFO?
No, bukan, jadi pesta resepsi pernikahan itu tidak menggunakan sistem prasmanan atau standing party cem pesta di kota-kota besar. Semua tamu yang hadir harus datang sesuai jam yang tertera di undangan. Semua wajib duduk di bangku masing-masing yang sudah disediakan. Mengikuti seluruh rangkaian upacara adat dan hiburan dari awal sampai akhir serta menikmati sajian piring terbang.
Baca juga: 11 Tradisi Jawa yang Sudah Langka
Tamu nggak boleh selonong boy ke pelaminan, salam-salaman terus selfie sama pengantin. Salam-salaman hanya dilakukan di akhir acara.
Terus ngapain aja selama itu?
Sebagai tamu undangan kita harus duduk khidmat menikmati acara yang disediakan pemangku hajat. Hiburannya: kalau nggak gamelan, campur sari atau wayangan semalam suntuk.
Terus kapan kita makannnya? Nah ini, makanan untuk para tamu akan diantarkan langsung oleh petugas yang dinamakan sinoman tadi. Kalau dirujuk dari sejarah bahasa mungkin artinya mungkin “sing enom”. Masih muda, masih kuat angkut-angkut baki berisi makanan dan minuman. Seterong man! Sistem pengantaran makanan satu per satu ini yang dinamakan piring terbang.
Urutannya menunya begini: USDEK, U merujuk dari kata unjukan atau minuman, pertama kali para tamu yang hadir biasanya akan disuguhi teh manis panas. Baik acaranya pagi, sore, maupun siang bolong dengan matahari bersinar panas di atas kepala. Teh manis panas ini hukumnya wajib, kalaupun ada gantinya biasanya teh botol tanpa es.
Sajian yang ke dua adalah huruf S alias Sop tanpa nasi. Satu piring sop isinya berupa suwiran daging ayam, kapri, wortel dan macaroni. Tambahan lainnya adalah jamur es. Sop ini porsinya kecil dan rasanya sangat segar. Sewaktu nulis ini, saya kangen cita rasa sop yang nggak bisa dilupain dan nggak bisa ditemuin di Jakarta.
Sajian ke tiga: Dahar (hidangan utama), menu utama ini biasanya antara nasi Pupuk (bukan pupuk tanaman ya :D) atau Selat Solo. Nasi Pupuk ini semacam nasi rames yang terdiri dari secentong nasi yang dicetak dalam mangkok, daging lapis, acar putih, pindang telur, dan kerupuk udang.
Nah, kalau Selat Solo biasanya isinya berupa potongan daging sapi dibentuk bulat, kentang goreng, buncis, wortel dan telur rebus. Tanpa nasi ya gaes! Terus atasnya disiram kuah berwarna coklat.
Karena porsinya kecil jadi rasanya mantul banget, buat yang lapar pasti rasanya kurang nampol. Tapi, apa daya, tamu-tamu yang hadir enggak bisa nambah. Satu orang cukup satu porsi, udah gitu ya, orang Jawa kalau makan di acara resepsi, sudah ada aturan tidak tertulis: harus disisain supaya nggak dibilang rakus dan nggak pernah makan. 😀 Saya pun kadang suka kangen menu makanan ini.
Kemudian sajian terakhir adalah es, biasanya es podeng dengan isian agar-agar, kolang kaling, dan setup nanas. Beda banget kan ya, sama es podeng yang dijual abang-abang di Jakarta.
Dan yang terakhir Kondur (pulang), sebelum kondur, tamu-tamu harus salam-salaman sama pengantin, beruntung kalau bisa selfie-selfiean. Eh, tapi kan zaman dulu belum ada kamera hp, jadi jarang banget tuh tamu pepotoan sama pengantin.
Nah, di situlah peran sinoman alias menjadi pramusaji. Jadi misalkan ada dua ribu tamu undangan, akan ada dua ribu piring, gelas dan teman-temannya. Satu hal yang membahagiakan bagi sinoman adalah mereka boleh makan sepuasnya.
Butuh Energi Besar untuk Mengedarkan Sajian Piring Terbang
Namanya juga menjadi “pelayan dadakan”, jadi harus kuat. Maklum lah ya, butuh energi besar buat ngangkut-ngangkut semua peralatan makan tersebut. Dan di situ, kita semua nggak dibayar sepeser pun alias gratis. Kita sadar kok, kalau ini adalah kerja sosial. So, nggak harus nunggu ditunjuk pun kita tau diri. Kalau keluarga kita ada hajatan, semua juga pasti akan membantu kita tanpa diminta.
Yang dibayar hanya mereka yang bekerja keras rewang di dapur, biasanya ibu-ibu yang menjadi kepala koki, penanak nasi, pembuat minuman dan petugas cuci piring. Selebihnya, yang rewang (membantu) ya enggak dibayar. Sebagai gantinya tuan rumah akan membagikan hantaran berupa nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauk untuk keluarganya karena mereka sudah rewang di rumahnya. Kita semua bekerja sukarela mangayubagya (turut berbahagia).
Satu hal lagi yang membuat saya bahagia ketika ada hajatan di kampung adalah ketika keluarga menerima punjungan. Biasanya ini sebagai undangan kehormatan. Punjungan ini berupa makanan hantaran yang terdiri dari satu susun rantang (zaman dulu) yang dikirimkan untuk tamu undangan khusus. Isinya nasi, ayam ingkung, sayur tempe atau kentang, kerupuk, dan jajan pasar.
Karena punjungan ini statusnya istimewa, so penerima punjungan harus tau diri dengan memberikan amplop lebih dari rata-rata saat pesta resepsi. Ya, karena kita menerima hantaran istimewa tadi. Nggak ada aturan baku terkait jumlah nominalnya. Penerima punjungan harus tanggap ing waskita (peka) bahwa kita dihormati oleh pemangku hajat.
Terus, biasanya seminggu setelah acara biasanya ada penutupan panitia. Namanya Sumsuman, ini bentuk rasa terima kasih keluarga pemangku hajat dengan mengundang mereka makan bubur sumsum. Filosofinya adalah biar rasa capek selama acara hilang sampai ke tulang sumsum.
Kalaupun acara penutupan panitia ini tidak diadakan di rumah pemangku hajat, sebagai pengganti, biasanya mereka mengirimkan sepiring bubur sumsum kepada para tetangga.
Ah, betapa saya merindukan momen-momen guyub rukun selama tinggal di kampung. Hal yang sama tidak pernah saya temui setelah hijrah di Jakarta. Jangankan menerima punjungan, sekadar njagong manten saja, hanya sebatas setor muka. Tak lebih dari sepuluh menit, isi buku tamu salaman dengan manten, nyicipin makanan sekadarnya, langsung pulang.
Kalaupun njagong teman dekat, bisa jadi saya sekalian reunian bareng teman-teman. Menu-menu dan acara yang sama sewaktu di kampung tidak pernah saya temukan lagi. Iya, saya paham, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Saya hanya mengikuti adat perkotaan, tempat saya kini tinggal.
Kalau tradisi di kampung kalian seperti apa? Komen di bawah ya J
30 comments
Istilahnya unik, ya, piring terbang :D. Jadi mbayangin, ngasih-ngasih piring ke para tamu, dengan cara cepat banget, jadi seakan-akan diterbangkan. Btw menu-menunya Solo banget, ya. Sop Manten juga masih bisa dicari di Solo, jadi semacam kuliner khas Solo yang harus dicicipi kalau lagi main ke kota itu.
Nah, itu saking cepetnya jadi namanya piring terbang 😀
Sama sih zaman dulu aku kecil resepsi di kampungku juga gitu, Mas. Tapi aku tahu istilah sajian piring terbang itu ya baru ini. Dulu nggak tahu istilahnya apa. Itu sop sama nasi ramesnya menggoda banget deh.
Iya Mbak, aku pun kangen makanan itu
Jadi penasaran nih sama tradisi piring terbang ini apalagi sama makanan-makanannya yang tampak menggoda!
Di Jogja juga masih banyak yang mempertahankan piring terbang, padahal jauh lebih irit standing party, tapi ya namanya mungkin sudah tradisi
Saya pernah mengalami ini di pernikahan teman kuliah. Ketika disampaikan bahwa saya vegetarian, tetap saja piring dengan menu non vegetarian ‘harus’ diterima. Walaupun tidak jadi makan, tapi saya tetap menikmati aktraksi piring terbang nya ….
Hehehe begitulah, Kak
Oh. Jadi sajian piring terbang itu, ternyata pelayan dari pemuda yang piring makanan. Tapi paling keren, pas urutan makan. USDE tanpa Kondur.
Hahaha iya mas
Resepsi pernikahan sepupu saya di kampung sepertinya 2-3 hari., cuma saya lupa detailnya. Kalo buat yang tinggal di kota, sepertinya terlalu lama ya kalo sampai 2-3 itu.
Iya mas, sdh mulai menyesuaikan keadaan
wah baru tau kalo di kampung spt itu… pengeluarannya jadi lebih sedikit ya karena ga perlu bayar wo lagi.
Iya kak. Hemat
Menarik banget ya acara nikah di sana. Ga bisa nih pesta minimalis kalau di desa. Tradisi piring terbang unik juga. Masih adakah tradisi itu sampai sekarang?
Iya menarik banget, itu sih sudah lumayan minimalis, masih ada kok tradisi piring terbang
Dari semua hidangan yang aku baca di artikel ini semuanya bikin ngiler. Pengen coba sop manten, siapa tau bikin aku cepet jadi manten hehhehe
Tradisi ini di kotaku, Kediri dulu juga ada, Mas. Waktu Mbakyuku ke-1,2,3, menikah pakai sajian piring terbang. Tapi pas Mbakyu yang ke-empat (Mbakyuku ada 5, jangan kaget ya hahaha) menikah tahun 2000 sudah pakai cara prasmanan. Hingga sekarang, sudah jarang sekali yang pakai konsep piring terbang.
Tapi, beda dengan di Madiun tempat mertuaku, masih ada yang pakai cara ini saat resepsi.
Yang enak memang tamunya ya..tinggal duduk manis dan diladeni 🙂
setuju
Piring terbang itu ternyata oper operan piring toh…
Unik ya tradisi resepsi pernikahan seperti itu, lebih tertib menurut aku. Makanannya juga unik unik, selat Solo, Es Podeng, Ayam Ingkung..sedap
iyes
Lucu namanya mas, piring terbang. Kirain piring terbang apaan. Tapi itu yang aku selalu ingin jika menikah pakai adat daerah. Banyak kebiasaan yang bikin rindu, termasuk ramainya para tetangga bantu membantu di hajatan kitaaa. Semoga kesampaian yak. hehe
amin
Piring terbang, baru denger nih istilahnya. Di zaman sekarang apa masih ada ya?
Jadi inget masa2 dikampung mas, hehe.. Saya terkhir nyinom lebaran thn 2018 kmrn mas, dapat jobdes nya bagian minum khusus tamu pria.
Dan memang benar tdk dibayar, krn itu adalh simbol gtong ryong didesa, tpi sebagai imbalan biasany dikasih rokok 1 bungkus mas, wkwkwkkwkkwkwk
Satu lagi, kalau waktu sudh mlm dan tamu sudh tdk ad yg dtng lagi, kami dikasih tulang2 yg masih ada sumsumnya, disedot pakai sedotan, dimkan rame2… haha
hehehehe… seru juga ya.. jadi pengen datang ke acara seperti itu… tadinya saya pikir ada ada perang piring saling lempar piring gitu…
Itu nasi pupuknya bikin sendiri yaa
iya
Di sekitar solo masih di pertahankan adat seperti itu walaupun sudah menngunakan katring dan weding orgenaizer tp tetep adat seperti itu masih bertahan, di mulai dari 1 minggu sebelum hari H disebut kumbokarnan ,2 hari sebelum hari H punjungan para pemangku tamu dan orang istimewa, 1 hari menjelang hari H dinamakan tarub membuat hiasan² untuk acara pernikahan,malam menjelang hari H dinamakan midodareni yang artinya menunggu para bidadari turun untuk kelancaran acara hari H.
Dan untuk puncak hari H adalah hari tersibuk untuk para among tamu (perwakilan pemangku acara) menyambut tamu, mereka sibuk mengarahkan berbagai hal termasuk mengawasi para tamu yang baru datang dan mempersilahkan tempat duduk
Untuk hidangan biasanya dipesan atas recomend keluarga manten yang terdiri dari
U:unjukan (pasti teh panas manis ).
S:sop manten atau sop galantin,sop matahari,ataupun selat solo.
D:daharan > biasanya nasi putih/kuning yang terdiri dari berbagai lauk dan sayur seperti sambel goreng kreni udang goreng ayam katsu acar putih sambal kentang.galantin dll (tergantung permintaan keluarga)
E:es yang biasanya dari es dong dong/es buah/ es krim dan jelly/ es kopyor solo
Dan terakir adalah
K:kondur yang jadi penutup acara di isi dengan foto2 ataupun langsung salaman dengan manten ketika sang mempelai sudah di lepas (di bedol ) untuk menemui para tamu.
Dan untuk acara terkir yakni 3 hari setelah hari H di isi dengan pembubaran panitia dan pembagian bubur sum sum yang berarti sum² tulang kembali semula setelah capek.
Dan itulah pengetahuan sedikit saya tentang hajatan kampung untuk solo dan sekitarnya jadi untuk seluruh acara 2 minggu itu adalah super sibuk. Walaupun tetap menggunakan katering ataupun weding orgenizer.
waaah, terima kasih infonya