Malam itu, Jakarta belum sepenuhnya tidur. Hiruk pikuk kota masih terdengar samar saat saya menapakkan kaki di pool bus Rosalia Indah, Pasar Minggu. Jam menunjukkan pukul sembilan malam, namun semangat kami justru baru saja menyala. Rombongan Heartventure, yang terdiri dari anak-anak muda dari berbagai daerah dan latar belakang, berkumpul dengan wajah penuh antusias. Kami tahu, ini bukan sekadar perjalanan. Ini adalah awal dari petualangan yang akan menggugah rasa dan menyentuh hati.
Di tengah perjalanan panjang menuju Yogyakarta, obrolan ringan dan canda tawa mulai mencairkan suasana. Beberapa dari kami sudah saling kenal di dunia maya, namun baru kali ini bisa bertemu dan saling bertatap muka. Ada rasa hangat yang tidak bisa dijelaskan—seperti sedang berada dalam satu keluarga baru, yang disatukan oleh misi kebaikan. Meski perjalanan cukup panjang, suasana dalam bus tetap hidup. Kami berbagi cerita, harapan, dan juga rasa penasaran tentang apa yang akan kami temui di sana.
Sekitar tengah malam, jalanan semakin lengang dan sebagian dari kami terlelap. Tapi ada juga yang tetap terjaga, menikmati sunyinya malam dari balik jendela bus, sembari membayangkan pagi di Jogja yang akan kami sambut bersama. Dalam hati, saya merasa ini lebih dari sekadar trip sosial, ini adalah perjalanan spiritual—menyusuri jalan untuk mengenal diri, sesama, dan semesta.
Bus terus melaju, menembus gelapnya malam dan dinginnya udara. Di kepala saya hanya ada satu bayangan: pagi di Jogja, aroma tanah basah, dan sambutan hangat dari mereka yang telah lebih dulu menunggu. Ini bukan liburan biasa, ini adalah Heartventure—perjalanan hati menuju kebermaknaan.
Pagi Hangat dan Soto Ayam Kaki Lima
Pukul delapan pagi, akhirnya kami tiba di Yogyakarta. Tubuh mungkin lelah, tapi semangat kami tak padam. Kami langsung menuju masjid terdekat untuk bersih-bersih dan menyegarkan diri. Ada sesuatu yang menenangkan dari air wudu yang membasuh wajah—seperti menghapus lelah dan menyambut hari dengan jiwa yang baru.
Selesai bersih-bersih, kami diajak sarapan di warung soto ayam kaki lima yang terletak tak jauh dari lokasi masjid. Meski sederhana, kelezatannya luar biasa. Soto ayam hangat dengan kuah bening segar, irisan seledri, dan sambal yang menggoda lidah membuat suasana pagi jadi lebih hidup. Makan beramai-ramai, duduk bersama teman-teman baru, sungguh menghadirkan kebahagiaan yang sederhana namun bermakna.
Kami menikmati setiap suapan, sambil sesekali bercanda atau mengomentari rasa soto yang katanya “lebih enak dari soto di ibu kota”. Mungkin karena suasana, atau mungkin karena rasa syukur yang tulus dari hati, makanan pagi itu terasa begitu istimewa. Inilah Yogyakarta yang saya rindukan—hangat, bersahabat, dan selalu bisa membuat siapa pun merasa pulang.
Usai sarapan, kami bersiap melanjutkan perjalanan ke destinasi pertama: DD Farm di Pundong, Bantul. Perut kenyang, hati senang, dan langkah pun terasa ringan. Hari baru, petualangan baru, dan cerita yang sedang kami tulis bersama.
Belajar dari Domba dan Makna Kurban di DD Farm

Perjalanan menuju DD Farm terasa menyenangkan. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan sawah hijau dan suasana pedesaan yang sejuk. Sesampainya di sana, kami disambut oleh tim Dompet Dhuafa yang ramah dan antusias. Mereka menjelaskan bahwa DD Farm adalah pusat peternakan domba yang menjadi bagian dari program Tebar Hewan Kurban—hasil dari zakat produktif yang dikelola dengan penuh tanggung jawab dan cinta.
Kami tidak hanya datang untuk melihat, tapi juga berinteraksi langsung dengan domba-domba. Aktivitas game pun dimulai dengan menghitung jumlah domba di kandang—terdengar mudah, tapi butuh konsentrasi tinggi karena domba-domba itu aktif sekali. Kami juga belajar menyukur bulu domba, menimbang berat badan mereka, hingga menggiring domba ke kandang tertentu. Semua dilakukan sambil tertawa, belajar, dan menyadari satu hal: setiap hewan kurban punya proses panjang dan cerita yang tak sederhana.
Subadar, kepala kandang di DD Farm, menceritakan bagaimana tempat ini dulu hanya berupa gudang dan beberapa kandang sederhana. Kini, dengan dana zakat, infak, dan wakaf, DD Farm mampu menampung ratusan ekor domba dan menjadi sumber pemberdayaan masyarakat sekitar. Dari sinilah semangat “philanthropreneur” tumbuh—di mana kebaikan dan keberdayaan berjalan beriringan.
Usai sesi interaktif dengan domba, kami menikmati makan siang bersama. Menu yang disajikan bernuansa Jepang, miso sup, sayuran segar, puding, dan teh ocha. Suasana terasa hangat dan akrab. Tidak terasa, dari hanya sekadar peserta, kini kami merasa menjadi bagian dari gerakan besar ini. Sebuah perjalanan yang tidak hanya menyentuh pikiran, tapi juga menggerakkan hati.
Malam Budaya dan Inspirasi di Cangkringan

Setelah puas belajar di DD Farm, kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Cangkringan. Di sinilah kami akan menginap—bukan di hotel mewah, tapi di rumah warga. Ini adalah bagian dari pengalaman tinggal bersama masyarakat lokal, mengenal kehidupan mereka dari dekat, dan merasakan kehangatan yang tak bisa dibeli dengan uang.
Sore menjelang malam, kami disambut dengan sajian makan malam khas desa. Nasi hangat, sayur lodeh, tempe garit, dan sambal terasi. Semua disajikan dengan cinta oleh ibu-ibu tuan rumah yang menyambut kami seperti anak sendiri. Setelah makan malam, kami diajak ke pendopo desa untuk menyaksikan pertunjukan budaya: tari tradisional dan gamelan. Gemerincing bunyi saron dan kendang membalut suasana dalam magis yang memikat.
Di sela-sela acara, kami mendengarkan cerita inspiratif dari Mas Fathur, seorang pemuda desa yang berhasil mengembangkan pertanian organik dan peternakan kambing di wilayah lereng Merapi. Ceritanya menyadarkan kami bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil, asal disertai tekad dan ketulusan. Ia tidak hanya menginspirasi, tapi juga menghidupkan harapan.
Malam itu kami pulang ke homestay dengan hati penuh rasa syukur. Meski sederhana, kasur yang empuk, dingin, dan selimut tebal itu terasa begitu nyaman. Suara jangkrik dan gemuruh Merapi di kejauhan menemani kami tertidur, membawa mimpi indah tentang desa, perjuangan, dan kebaikan.
Pagi yang Sibuk dan Penuh Kehidupan

Fajar menyingsing di Cangkringan dengan sejuk yang menggigit kulit namun menghangatkan hati. Usai subuh, kami diajak langsung ke kandang oleh pemilik homestay. Beberapa dari kami belajar memerah susu sapi, sementara yang lain ikut memanen jamur tiram, atau membantu di ladang. Semua dilakukan dengan riang dan penuh rasa ingin tahu—kapan lagi bisa menyentuh langsung kehidupan petani dan peternak di kaki Merapi?
Mereka mengajarkan kami bukan hanya cara memerah susu atau mengangkat jamur, tapi juga nilai-nilai hidup: sabar, kerja keras, dan syukur. Tak ada yang instan. Hasil panen dan ternak yang mereka nikmati hari ini adalah buah dari kerja harian yang tak pernah putus, dari pagi sebelum matahari terbit hingga senja datang menyapa.
Kami merasa menjadi bagian dari mereka. Tak sekadar tamu, tapi saudara yang datang belajar dan menghargai setiap tetes keringat mereka. Ada kehangatan dalam cara mereka mengajari, ada ketulusan dalam setiap senyum yang mereka beri. Pagi itu, kami bukan hanya merasakan kehidupan desa, tapi juga kehidupan itu sendiri.
Setelah semua aktivitas, kami kembali ke rumah warga, mandi dan bersiap untuk petualangan selanjutnya: Lava Tour Merapi. Tapi sebelum itu, kami sarapan dulu. Nasi, tumis daun pepaya, perkedel, lele goreng, tempe, dan segelas teh manis menjadi bekal energi untuk melanjutkan eksplorasi.
Lava Tour Merapi, Rumah Susu, dan Senyum Anak-Anak Hebat

Lava Tour dengan jeep terbuka menjadi pengalaman seru yang tak terlupakan. Kami menyusuri jalur lava sisa letusan Merapi sambil mendengarkan kisah-kisah perjuangan warga setempat. Kami mampir ke Museum Mini Sisa Hartaku, bekas rumah Mbah Maridjan yang kini menjadi saksi bisu dahsyatnya letusan gunung. Rasanya campur aduk—antara kagum, ngeri, sekaligus takjub pada semangat hidup masyarakat lereng Merapi.
Dari sana, kami lanjut ke The Lost World Castle untuk berfoto dan melihat keindahan Merapi dari ketinggian. Udara segar, pemandangan megah, dan senyum teman-teman membuat pengalaman ini semakin lengkap. Tapi yang paling menyentuh bukan hanya alamnya, melainkan interaksi kami berikutnya: bermain bersama anak-anak di Rumah Susu.
Anak-anak menyambut kami dengan keceriaan yang luar biasa. Kami bermain, bercanda, bernyanyi, dan membagikan bingkisan kecil. Tapi yang mereka butuhkan bukan hanya hadiah, melainkan kehadiran—dan itulah yang kami berikan sepenuh hati. Beberapa anak menceritakan cita-cita mereka, dan kami mendengarkan dengan penuh haru. Mereka mengajari kami arti semangat dan ketulusan dalam wujud paling murni.
Perjalanan dilanjutkan ke Yayasan Kanker Anak, tempat kami bertemu pejuang-pejuang kecil yang sedang menghadapi ujian besar. Meski tubuh mereka lemah, senyum mereka kuat. Mereka mengajarkan kami arti harapan. Sebelum pulang, kami sempat mampir ke Museum Ullen Sentalu dan jalan-jalan di Malioboro. Tapi dalam hati, kami tahu—oleh-oleh terbaik dari Heartventure adalah pengalaman, pelajaran, dan rasa pulang yang tak ternilai.
Heartventure: Bukan Perjalanan Wisata, Tapi Pulang ke Hati Sendiri
Heartventure bukan sekadar perjalanan. Ia adalah perjalanan hati. Tiga hari yang kami lalui bukan tentang berapa banyak tempat yang kami kunjungi, tapi tentang seberapa dalam kami meresapi makna di setiap langkah. Dari DD Farm, kami belajar tentang zakat yang berdampak. Dari warga Cangkringan, kami belajar tentang ketulusan dan keberdayaan. Dari anak-anak hebat, kami belajar tentang harapan tanpa batas.
Saat bus kembali ke Jakarta malam itu, kami tak hanya membawa koper penuh oleh-oleh, tapi juga hati yang penuh syukur dan pikiran yang tercerahkan. Ada yang berubah dalam diri kami—cara pandang, cara merasa, bahkan cara bermimpi. Kami pulang sebagai manusia yang lebih utuh.
Heartventure adalah panggilan untuk pulang. Pulang ke niat awal, ke makna hidup yang sesungguhnya. Ia bukan tentang sejauh apa kita pergi, tapi seberapa dalam kita kembali—pada diri, pada sesama, dan pada Tuhan.
Dan untuk itu, saya bersyukur pernah menjadi bagian darinya.